Jumat, 15 Mei 2015

Zaman Sekolah Dulu: Seperti Apa?

Awalnya, saya mau berbagi cerita-cerita masa sekolah dulu. Namun, saya sadar situasi dan konteks saat itu jauh berbeda dengan sekarang. Jadi mendingan tulisan pertama ini justru untuk kasih gambaran: kala itu seperti apa, sih? 

Saat itu tahun 1992-1994. Tentunya banyak yang berbeda dengan sekarang. Sebagai contoh, di dunia musik, penyanyi pop masih dibanggakan seberapa lebar rentang vokal mereka.

Saat Whitney Houston muncul, orang terkaget-kaget karena ada penyanyi yang rentang suaranya lima oktaf. Lalu muncullah Mariah Carey, yang konon tujuh oktaf!(1) Akibatnya, lagu-lagu hit masa itu banyak dihiasi lengkingan seperti I Will Always Love You (cocok untuk melolong bersama) atau Dreamlover (kalau ada versi karaokenya, di bagian Mariah Carey melengking, pasti muncul teks: "Gak usah coba-coba deh").

Kalau sekarang sih, autotune sudah meraja. Rentang vokal bukan lagi prioritas utama. Yang penting unik dan berkarakter.

Lip-sync juga sudah biasa. Dulu, banyak orang yang masih belum move on karena merasa dikhianati Milly Vanilli setelah mereka mengaku lip-sync. Sampai ada yang bakar kaset segala. Padahal kalau diloak ke Pasar Cihapit masih lumayan, laku 3000 rupiah satu kaset. Bakso tahu saja sepotong cuma 150 rupiah.

Tapi terserah dong, kaset-kaset dia ini. Bebas!

Oh, ya. Kami masih menggunakan kaset. Dan walkman. Kalau suara musiknya mulai ngageol, masukin saja kasetnya ke freezer. Nanti bagus lagi. Jangan lupa ditiup pitanya, supaya embunnya hilang.

Iya. Sudah dari masa itu kok solusi cenderung mengandalkan tiupan dan doa. Kaset Nintendo nggak jalan? Tiup. Pesawat kertas mau dilempar? Tiup. Mau nilai ujian bagus? Ti... tipin doa sama saudara yang naik haji, lah. Kalau pesawatnya delay karena kesalahan teknis, baru coba bantuin montirnya: tiup mesinnya. 
 
Di masa itu, ragam musik bisa ekstrem kanan dan kiri. Kita bisa menemukan lagu rap Protect Ya Neck-nya Wu Tang Clan, bersanding dengan Informer-nya Snow. Yang dianggap grup metal itu Metallica, tapi juga Steelheart. Bebas!
 
Berita terbesar kala itu bahkan sama sekali bukan berita: terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden. Ya mana ada nilai beritanya kalau semua orang tahu sudah tahu? Bahkan sampai muncul lelucon bersama: kalau ada razia tas di sekolah, pas kita bawa barang yang bisa kena, sembunyikan saja di belakang foto presiden.

Loh, kenapa di situ?

Karena nggak ada yang berani nurunin.

Sudah terbayang, bisnis penjualan foto presiden untuk sekolah atau institusi pemerintah pasti mandeg. Jual foto tahun 80-an, nggak ada lagi yang beli. Paling foto wapres saja.(2)

Bisnis sampingan mereka yang lebih laris adalah: poster menteri. Ya. Dulu, mengingat nama menteri itu penting. Padahal nggak ada faedahnya juga sih. Nggak pernah ada, misalnya, cowok hampir jatuh ke jurang terus teriak, "Tolong! Tolooong!"

Orang-orang berdatangan. Pas mau nolong, nanya, "Eh, bentar, Menteri Kesehatan kita namanya siapa?"

"Dokter Adhyatma!"

"Ngaco! Udah Pak Sujudi," mereka melengos dan berbalik.

Si cowok pun jatuh dengan penuh penyesalan, "Kenapa gue nggak hafaa~~~~~l!" 

Poster Kabinet adalah solusi jitu menghafal menteri. Selembar ukuran A2, berisi foto-foto cowok berusia lanjut dengan nama dan jabatan. Mirip dengan poster Top's Collection di tempat pangkas rambut. Bedanya semua potongan rambutnya sama: kotak-kotak--karena pakai peci. Paling hanya ada satu-dua cewek. Itu juga Menteri Urusan Wanita.

Di masa kini, pemilihan Presiden Amerika Serikat saja ikut menghebohkan media sosial. Dulu,  masyarakat awam baru sadar Presiden AS ganti dari karikatur Kompas atau Pikiran Rakyat. ("Eh, Clinton teh saha?" "Presiden Amerika nu anyar, A." "Oh. Watir pisan, geus loba huisna.")

Singkatnya, itu adalah saat-saat belum mengenal istilah "information overload". Pemegang informasi dianggap jawara. Konsekuensinya, minim metoda cek dan ricek. Kalau membual ya susah dibuktikannya.

Jadi kalau nanti cerita saya juga mulai terasa janggal, ya anggap saja ngarang. Bebas!


__________________

(1): Padahal aslinya sama-sama lima oktaf. Maklum, dulu akses Internet masih jarang. Masih masa jayanya para peternak gosip. Boro-boro snopes.com, Google aja belum lahir.

(2): Makanya saya nggak akan kaget kalau salah satu pihak yang ikut demo besar-besaran pada tahun 1998 itu para penjual foto presiden.

1 komentar:

  1. "Pemegang informasi dianggap jawara.."

    Karena itulah barudak majalah ngajago pisan :))

    BalasHapus