Rabu, 20 Mei 2015

Filosofi Cireng


Pertama kali mengenal cireng itu 27 tahun yang lalu. Ketika cireng masih berupa sebuah makanan sederhana seharga 25 rupiah. Sangat sederhana... hanya sebuah gorengan sebesar telapak tangan terbuka yang dibumbui aroma bawang daun. Panas-panas di makan dengan sebiji cengek (cabe rawit ~basa Sunda) ah.... lagi... lagi... 

Mengenang perkenalan pertama dengan cireng, ketika itu diperkenalkan oleh alm Mak Omoh, pengasuh setia keluarga kami. Mak Omoh ikut Nenekku sejak ibuku kecil, sampai kemudian ikut Ibuku hingga saya SMA. Saat saya menginap di tempat kost kakakku di belakang terminal Ledeng.. Mak Omoh bertanya padaku:
"Mau cireng?"
"Apa itu cireng?" tanyaku heran.
"Ngke... ku Emak dipangmeserkeun..." (Nanti sama Emak dibeliin).
Lalu Emak beranjak berdiri. Bayangan sanggul hitam dan kebaya bunga-bunganya menghilang di balik pintu menembus kabut pagi di Bandung yang dingin.
"Enak loooh cireng. Pasti nanti nagih" Kata kakakku.. dan aku pun semakin penasaran.

Lalu Emak kembali sambil membawa kantong kertas yang sedikit bernoda minyak.
"Yeuh... cobian geura" (Ini... cobain deh).. Aku, kakak dan adikku mengambil gorengan berwarna putih gurih berbahan tepung kanji itu... fhanaaassssshh... Dan...  Huaaaa... itulah penyesalanku berkenalan dengan cireng... enak gileeee... sampai sekarang sudah 27 tahun pun tidak pernah bisa beralih dari gorengan bertekstur liat itu.
Benar kata kakakku... kami ketagihan..
"Deui??" (lagi??) tanya Mak Omoh. Segera kami semua mengangguk dan sosok Emak kembali menghilang di balik pintu.

27 tahun setelah perkenalan itu, cireng masih digemari masyarakat Jawa Barat. Tetapi cireng bukan lagi cireng yang dulu. Memang masih ada cireng yang sederhana di tukang-tukang gorengan. Tapi selain itu banyak sekali cireng yang dikembangkan dengan inovasi. Ada cireng dengan aneka isi, ada stick cireng, cireng udang, rujak cireng yang sekarang sedang ngehits.. dan ada juga cireng ngelay (yang ini rada-rada gimanaaaa gitu makannya :D ). Cireng yang dulu seharga 25 rupiah itu, sekarang bisa membuat seorang pengusaha cireng mampu membeli sebuah mobil Toyota Yaris.

Demikianlah cireng yang kemudian berkembang seiring dengan waktu... seperti juga halnya kami Crew M3 yang berasal dari satu ruang kecil di sebuah lorong SMA 3 Bandung yang dulu terkenal dengan sebutan Gang Dolly (alm.) Ruangan kecil itu kami beri nama Blumun. Terinspirasi dari serial TV favorit kami bersama: Moonlighting. Di tempat itulah kami berkumpul melahirkan sebuah majalah dengan teknologi yang sangat sederhana, kemampuan menulis yang sederhana, lay out yang sederhana dan ilustrasi yang juga sederhana. Kini, 23 tahun berlalu.. masing-masing dari kami juga berkembang seiring dengan waktu. Goresan pensil ilustrator kami dulu.. sekarang semakin canggih dan halus, designer lay out kami skill designnya semakin berkembang, ada juga yang sekarang menjadi presiden (tanpa pemilu)  Blogger dan pengamat IT.. (meskipun kurang kumis sedikit), ada yang laris manggung sana sini dengan stand-up comedy-nya, ada juga yang setia berkecimpung di bidang jurnalistik, ada yang menikmati waktunya dengan menjadi Ibu Rumah Tangga dan berbagai profesi lainnya.

Maka.. inilah kami sekarang berkumpul kembali untuk mengenang saat-saat menulis, menggambar dan memenuhi deadline di ruang maya... karena ruang kecil itu ~Blumun~ sudah tidak ada lagi..

Selamat menikmati :)

Jumat, 15 Mei 2015

Zaman Sekolah Dulu: Seperti Apa?

Awalnya, saya mau berbagi cerita-cerita masa sekolah dulu. Namun, saya sadar situasi dan konteks saat itu jauh berbeda dengan sekarang. Jadi mendingan tulisan pertama ini justru untuk kasih gambaran: kala itu seperti apa, sih? 

Saat itu tahun 1992-1994. Tentunya banyak yang berbeda dengan sekarang. Sebagai contoh, di dunia musik, penyanyi pop masih dibanggakan seberapa lebar rentang vokal mereka.

Saat Whitney Houston muncul, orang terkaget-kaget karena ada penyanyi yang rentang suaranya lima oktaf. Lalu muncullah Mariah Carey, yang konon tujuh oktaf!(1) Akibatnya, lagu-lagu hit masa itu banyak dihiasi lengkingan seperti I Will Always Love You (cocok untuk melolong bersama) atau Dreamlover (kalau ada versi karaokenya, di bagian Mariah Carey melengking, pasti muncul teks: "Gak usah coba-coba deh").

Kalau sekarang sih, autotune sudah meraja. Rentang vokal bukan lagi prioritas utama. Yang penting unik dan berkarakter.

Lip-sync juga sudah biasa. Dulu, banyak orang yang masih belum move on karena merasa dikhianati Milly Vanilli setelah mereka mengaku lip-sync. Sampai ada yang bakar kaset segala. Padahal kalau diloak ke Pasar Cihapit masih lumayan, laku 3000 rupiah satu kaset. Bakso tahu saja sepotong cuma 150 rupiah.

Tapi terserah dong, kaset-kaset dia ini. Bebas!

Oh, ya. Kami masih menggunakan kaset. Dan walkman. Kalau suara musiknya mulai ngageol, masukin saja kasetnya ke freezer. Nanti bagus lagi. Jangan lupa ditiup pitanya, supaya embunnya hilang.

Iya. Sudah dari masa itu kok solusi cenderung mengandalkan tiupan dan doa. Kaset Nintendo nggak jalan? Tiup. Pesawat kertas mau dilempar? Tiup. Mau nilai ujian bagus? Ti... tipin doa sama saudara yang naik haji, lah. Kalau pesawatnya delay karena kesalahan teknis, baru coba bantuin montirnya: tiup mesinnya. 
 
Di masa itu, ragam musik bisa ekstrem kanan dan kiri. Kita bisa menemukan lagu rap Protect Ya Neck-nya Wu Tang Clan, bersanding dengan Informer-nya Snow. Yang dianggap grup metal itu Metallica, tapi juga Steelheart. Bebas!
 
Berita terbesar kala itu bahkan sama sekali bukan berita: terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden. Ya mana ada nilai beritanya kalau semua orang tahu sudah tahu? Bahkan sampai muncul lelucon bersama: kalau ada razia tas di sekolah, pas kita bawa barang yang bisa kena, sembunyikan saja di belakang foto presiden.

Loh, kenapa di situ?

Karena nggak ada yang berani nurunin.

Sudah terbayang, bisnis penjualan foto presiden untuk sekolah atau institusi pemerintah pasti mandeg. Jual foto tahun 80-an, nggak ada lagi yang beli. Paling foto wapres saja.(2)

Bisnis sampingan mereka yang lebih laris adalah: poster menteri. Ya. Dulu, mengingat nama menteri itu penting. Padahal nggak ada faedahnya juga sih. Nggak pernah ada, misalnya, cowok hampir jatuh ke jurang terus teriak, "Tolong! Tolooong!"

Orang-orang berdatangan. Pas mau nolong, nanya, "Eh, bentar, Menteri Kesehatan kita namanya siapa?"

"Dokter Adhyatma!"

"Ngaco! Udah Pak Sujudi," mereka melengos dan berbalik.

Si cowok pun jatuh dengan penuh penyesalan, "Kenapa gue nggak hafaa~~~~~l!" 

Poster Kabinet adalah solusi jitu menghafal menteri. Selembar ukuran A2, berisi foto-foto cowok berusia lanjut dengan nama dan jabatan. Mirip dengan poster Top's Collection di tempat pangkas rambut. Bedanya semua potongan rambutnya sama: kotak-kotak--karena pakai peci. Paling hanya ada satu-dua cewek. Itu juga Menteri Urusan Wanita.

Di masa kini, pemilihan Presiden Amerika Serikat saja ikut menghebohkan media sosial. Dulu,  masyarakat awam baru sadar Presiden AS ganti dari karikatur Kompas atau Pikiran Rakyat. ("Eh, Clinton teh saha?" "Presiden Amerika nu anyar, A." "Oh. Watir pisan, geus loba huisna.")

Singkatnya, itu adalah saat-saat belum mengenal istilah "information overload". Pemegang informasi dianggap jawara. Konsekuensinya, minim metoda cek dan ricek. Kalau membual ya susah dibuktikannya.

Jadi kalau nanti cerita saya juga mulai terasa janggal, ya anggap saja ngarang. Bebas!


__________________

(1): Padahal aslinya sama-sama lima oktaf. Maklum, dulu akses Internet masih jarang. Masih masa jayanya para peternak gosip. Boro-boro snopes.com, Google aja belum lahir.

(2): Makanya saya nggak akan kaget kalau salah satu pihak yang ikut demo besar-besaran pada tahun 1998 itu para penjual foto presiden.